zetizen

Menguak Ancaman Hoax Yang Tersembunyi di Balik Euforia Kripto Dan Investasi Digital

Explore
Source: Shutterstock/ Primakov

Zetizen - Di tengah euforia digital dan impian kebebasan finansial, masyarakat Indonesia menghadapi ancaman baru yang tak kalah berbahaya dari kejahatan konvensional: penipuan investasi kripto berbasis hoaks. Berbalut jargon teknologi seperti "blockchain", "web3", dan "tokenisasi", banyak warga terjerumus ke dalam proyek palsu yang menjanjikan imbal hasil luar biasa, namun nyatanya nihil. Kasus JYPRX, SYIPC, dan LEEDSX menjadi bukti nyata bagaimana hoaks dan skema penipuan saling menopang dalam ruang digital yang minim pengawasan.

Skema yang digunakan hampir selalu melibatkan penyebaran hoaks investasi, yakni informasi palsu yang dikemas dengan bahasa meyakinkan dan didistribusikan melalui media sosial. Dengan bantuan influencer berpengikut besar, proyek-proyek ini menampilkan seolah-olah mereka memiliki legitimasi, izin, bahkan kerja sama internasional.

Ada pula yang menggunakan testimoni palsu dari tokoh masyarakat, hingga teknologi deepfake untuk menciptakan kesan otoritatif. Di sinilah hoaks memainkan peran krusial: menciptakan ilusi kredibilitas untuk memanipulasi keputusan keuangan publik.

Contohnya, dalam kasus SYIPC, beredar video rekayasa wawancara dengan tokoh publik yang seolah-olah menyarankan orang membeli token tersebut. Ini bukan hanya penipuan finansial, tapi juga hoaks visual yang berbahaya karena memanfaatkan kepercayaan masyarakat terhadap figur publik.

Di kasus LEEDSX, whitepaper yang digunakan sepenuhnya disalin dari proyek lain dan dipoles ulang dengan istilah yang sulit dimengerti oleh awam. Banyak investor bahkan yang berpendidikan tinggi tertipu karena tidak terbiasa memverifikasi informasi teknis.

Sayangnya, melawan hoaks dalam konteks kripto jauh lebih kompleks. Tidak seperti hoaks politik atau kesehatan yang bisa diklarifikasi oleh media dan lembaga resmi, proyek kripto seringkali bergerak cepat, lintas negara, dan menggunakan platform yang tidak terawasi pemerintah.

Mekanisme moderasi konten di media sosial juga sering kalah cepat dibanding kecepatan viral konten hoaks. Namun demikian, perjuangan melawan hoaks tetap harus dilakukan secara sistemik dan kolaboratif.

Pertama, penguatan literasi digital menjadi garda terdepan. Masyarakat perlu dibekali kemampuan membedakan antara informasi valid dan manipulatif. Edukasi publik harus mencakup cara memverifikasi legalitas aset kripto di situs resmi Bappebti, memahami whitepaper, dan mengenali red flag proyek abal-abal.

Kedua, platform media sosial harus lebih bertanggung jawab, bukan hanya menayangkan disclaimer pasif, tetapi aktif bekerja sama dengan otoritas dan organisasi pemeriksa fakta. Mereka juga harus menindak tegas influencer yang menyebarkan hoaks investasi demi keuntungan pribadi.

Ketiga, media massa dan jurnalisme cek fakta perlu lebih hadir dalam ruang ini. Skema seperti JYPRX dan SYIPC bisa dicegah lebih awal jika media turut menyuarakan peringatan berbasis investigasi. Kolaborasi seperti CekFakta bisa diperluas ke ranah ekonomi digital, termasuk memverifikasi klaim investasi dan mempublikasikan hasil penelusuran.

Akhirnya, penegakan hukum juga harus dibarengi kerja sama internasional, karena pelaku penipuan sering berada di luar negeri dan memanfaatkan celah hukum. Tanpa sanksi tegas dan pemulihan kerugian korban, maka kepercayaan publik terhadap dunia kripto akan terus terkikis.

Kita hidup di zaman di mana hoaks bukan hanya soal politik atau pandemi, tetapi juga soal dompet kita sendiri. Investasi digital yang semestinya menjadi peluang kemajuan justru berubah menjadi ladang penipuan akibat rendahnya literasi dan tingginya kepercayaan buta.

Melawan hoaks dalam dunia kripto bukan sekadar upaya informasi, melainkan bagian dari pertahanan ekonomi masyarakat. Jika kita tidak membangun budaya skeptis yang sehat dan sistem perlindungan informasi yang kuat, maka akan terus muncul proyek-proyek palsu dengan wajah baru. Dari mimpi jadi investor, berubah jadi korban penipuan digital itulah risiko jika hoaks dibiarkan menjadi alat utama pemasaran.