
Zetizen-Gadis keturunan Dayak Ngaju dan Dayak Ma’anyan ini mengaku punya hubungan sangat erat dengan alam. Sejak bergabung dengan The Climate Reality Project, Laetania Belai aktif melakukan kegiatan seperti konferensi pemuda, webinar, serta diskusi publik yang membahas tentang lingkungan. Bahkan, aksi nyata bersama masyarakat adat Dayak Iban dari Sungai Utik, Kalimantan Barat, pun dilakoninya.
SAPE: Alat musik tradisional yang diajarkan oleh Wat Bajae di Rumah Betang ditemani Yessy (kiri)
dan Teguh, dua pemuda dari Sungai Utik yang juga seorang penari tradisional.
”Sejak kecil aku banyak belajar dari ibu yang bekerja di sektor alam. Awalnya aku cuma ikut berkunjung ke pedalaman hutan dan taman-taman kota. Eh, tergerak untuk
terjun langsung memperjuangkan krisis iklim, sumber kehidupan kita sebagai manusia. Apalagi, sebagai orang Dayak, melindungi alam dan budaya adalah dua hal penting,’’ jelas cewek yang disapa Belai tersebut.
Setelah itu, Belai berkesempatan untuk bertemu masyarakat adat Dayak Iban yang tinggal di pedalaman hutan Kalimantan Barat yang dikenal sebagai forest guardian community. Sebab, mereka turun-temurun berkomitmen menjaga tanah dan hutan sebagai sumber kehidupan. Setelah bertemu orang-orang tersebut, pemahaman Belai tentang pentingnya melestarikan alam dan budaya sebagai perlindungan kehidupan manusia pun semakin kuat.
SUSUR SUNGAI: Belai menaiki perahu kecil yang disebut Ketinting untuk pergi ke hulu Sungai Utik dan
bermalam di hutan pada kunjungan pertama untuk bertemu langsung dengan masyarakat adat Dayak Iban
”Masyarakat Dayak kayak punya ketergantungan terhadap dua hal itu. Artinya, mereka juga punya peran penting untuk memperjuangkan krisis iklim dengan menyatukan pelestarian alam dan lingkungan sosialnya. Nah, tugasku adalah memastikan suara mereka didengar dan memperjuangkan hak mereka seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan layak,’’ lanjutnya.
Meski nggak mudah, Belai pantang menyerah kok! Menurut dia, kesulitan datang dari sesuatu yang di luar kendalinya. Misalnya, belum ada upaya untuk menomorsatukan iklim di atas krisis lingkungan lain. Padahal, itu kan nggak kalah penting! Belai juga menyayangkan orang-orang yang nggak mau ikut membuat perubahan.
SPEAK UP: Sebagai salah seorang panelis di panggung Indonesian Pavilion, Belai hadir
menyuarakan isu lingkungan dan hak masyarakat adat dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-25
yang diselenggarakan UNFCCC pada 2019.
”Teman dan keluargaku sendiri masih banyak yang nggak sadar akan pentingnya menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah plastik. Itulah yang bikin aku patah semangat. Sebab, kalau orang terdekatku aja nggak mau diajak berubah, bagaimana orang lain? Mau nggak mau tetap harus menerima. Yang penting aku harus konsisten mengedukasi dan lead by example,’’ kata cewek asal Bogor itu.
Sejak memutuskan untuk pindah dari Universitas Diponegoro ke University of Sheffield di Inggris, Belai berkomitmen untuk terus membicarakan topik perubahan iklim hingga menjadi contoh gaya hidup ramah lingkungan. Pada saat yang sama Belai jadi dikenal teman-teman barunya sebagai environment activist.
VIRTUAL MEETING: Belai berkontribusi untuk masyarakat Sungai Utik melalui online english class
yang diikuti pemuda dan pelajar di sana.