zetizen

ZETIZEN SPEAKS UP: Suara yang Jauh dari Timur

Get A Life

Dia berkata, “Saya cinta, Mas. Itulah kenapa saya terus berkarya sebagai anak Bumi Cenderawasih. Saya ingin mengingatkan kawan-kawan bahwa tanah yang mereka anggap tanah kasowari (tanah perang) sebenarnya adalah Bumi Cenderawasih, bumi damai yang subur dan makmur.”

 

Saya terharu. Kalimat itulah yang membuat saya semangat bekerjasama dengannya. Saya beri Kak Richard banyak saran dan masukan tentang gerakan-gerakan pelajar yang mampu dilakukan kawan-kawan di Papua Barat agar aspirasi mereka didengarkan otoritas. Saya juga bercerita tentang berbagai gerakan yang saya tekuni. Malam itu terkesan sangat gayeng, akrab. Saya merasa mendapatkan saudara dari peta Indonesia belahan lain. 

************* 

Pembicaraan itu berlangsung beberapa bulan lalu. Namun, saya teringat semua itu berkat sebuah unggahan di Facebook tentang cetakan uang baru. Yang dibahas adalah uang Rp 10.000 yang memuat wajah Frans Kaisiepo, seorang tokoh Indonesia Timur asal Biak, Papua. Beliau adalah Gubernur Papua ke-4 dan diplomat dari Papua saat Konferensi Malino pada 1946 yang membahas pembentukan Republik Indonesia Serikat.

Frans Kaisiepo pada cetakan uang baru (Foto: Twitter)

Unggahan itu mendapat banyak komentar negatif yang mempertanyakan jasa dan kepahlawanan Frans Kaisiepo. Ini tidak adil, sangat tidak adil. Saat ditanya tentang kasus Freeport, banyak yang menggebu-gebu memaksa Indonesia untuk mengusir perusahaan asing. Seakan-akan paling nasionalis, paling defensif terhadap rakyat Papua. Banyak juga yang memaksa Papua tidak merdeka agar mereka tidak menyuarakan perlawanan.

 

Namun, saat ditanya tentang jasa para pahlawan dari Papua, mereka tidak mau tahu. Padahal, berselancar di intertnet sebentar saja, mereka bisa tahu seluk-beluk Bapak Frans. Eh, mereka malah sibuk mengomentari, mencemooh, dan menghina, seakan-akan sosok itu seorang penjahat atau perampok negara. Saya yakin banyak pahlawan dari timur yang tidak pernah–atau jarang disinggung–di buku-buku sejarah umum. Sebut saja Johannes Abraham Dimara dari Papua dan Johannes Leimena dari Maluku.

 

Bagi saya, ini suatu kejahatan, kejahatan kontradiktif. Kita ingin Papua tetap bersama kita, tapi kita tidak mengenali Papua. Kita sibuk membanggakan Raja Ampat dan kekayaan emas di sana, tapi kita tidak bangga akan rakyatnya. Kita mendapat fasilitas yang jauh lebih banyak dari saudara kita di timur, tapi kita tidak menaruh rasa hormat terhadap mereka, tidak tahu betul apa yang mereka hadapi. Saat mereka mengeluh kepada pemerintah yang dianggap sebagai payung kedamaian, panas selongsong pelurulah yang mereka dapatkan.

 

Harusnya kita malu. Selama ini kita menganggap mereka sebagai anak tiri Indonesia. Kita sibuk berteriak tentang pelanggaran isu kemanusiaan di negara yang jauh di sana. Sedangkan saudara kita sendiri, yang untuk sekolah saja masih susah bukan main, kita acuh tak acuh.

 

Jika kita mau berbuat, kecintaan mereka akan tanah air harus dipulihkan. Kita harus menjadi bangsa yang dewasa, yang sudi melihat apa yang sebetulnya mereka perlukan. Kita harus hadir bagi mereka dan bagi siapapun yang juga merasa bertumpah darah Indonesia. Apabila itu saja tidak kita lakukan, apabila kita terus bersembunyi di balik kepalsuan, maka suara-suara jeritan mereka akan terus terdengar. Jika pengeras suara sudah tidak lagi bekerja, mulut sudah dibungkam, maka doa dan tangislah yang akan menghantui kita. (*)

 

Ditulis oleh Aryo Seno Bagaskoro,

Halaman: