
‘‘Matahari itu terbit dari timur ke barat. Sama halnya dengan pembangunan, harusnya timur dulu yang bangkit berjaya, baru barat.’’
Zetizen.com – Itulah yang dikatakan kawan saya, Richard Janwar Masoara, sambil menggebu-gebu, saat saya pertama kali bertemu dengannya di sebuah perhelatan lomba dari Zetizen Jawa Pos di Trawas, Jawa Timur. Waktu itu malam hari, namun kantuk tidak menyurutkan semangat kami berdiskusi.
Pace Richard (begitu saya menyebutnya, kadang saya panggil Kak Richard) tinggal di Kota Sorong, Papua Barat. Meski bukan berasal dari Bumi Cenderawasih, semangatnya memajukan daerah tempat tinggalnya lebih besar dari mayoritas putra-putri asli daerah. Bagaimana tidak, selain aktif di sekolah sebagai motor penggerak beberapa organisasi, dia juga aktif di berbagai kegiatan lingkungan.
Berkat aksinya itu, Zetizen Jawa Pos memberinya kesempatan untuk mewakili muda-mudi Papua Barat untuk bermain dan belajar di Selandia Baru selama seminggu. Berkat kesempatan ini pula saya bisa bertukar pikiran dengannya, kesempatan yang jarang diperoleh anak-anak di Pulau Jawa, anak-anak yang (sok) modern di kota-kota metropolitan.

Dari diskusi-diskusi kami, ada satu hal yang menarik bagi saya. Menurut Kak Richard, adat istiadat di sana sering dipandang lebih tinggi dari hukum konstitusi negara. Misalnya, terjadinya perang suku yang menjadi semacam tradisi. Bahkan, pembunuhan bisa terjadi! Namun, hukum negara tidak mengatur atau tepatnya tidak mempan bagi mereka yang terlibat. Negosiasi antarkepala suku lebih diutamakan saat terjadi kematian. Saya penasaran. Saya pun bertanya kepadanya tentang otonomi khusus Papua Barat. Bukankah dengan privilege yang demikian, seharusnya pemimpin daerah mereka bisa lebih tahu tentang kondisi masyarakat di Papua Barat?
“Iya, memang, Mas. Kepala daerah kami harus putra-putri daerah. Namun, apa ya... Mayoritas dari mereka malah sibuk mengurus kepentingan sendiri saat menjadi pejabat. Sedangkan pusat seakan tidak mau mendengarkan masalah-masalah kami,” jawabnya.
Kak Richard juga bercerita tentang kekayaan Indonesia di wilayah timur. Tentang indahnya Raja Ampat, pegunungan emas yang mereka miliki, hamparan padang rumput serba luas, dan lain-lain. Ya, saya percaya, mereka memang sangat kaya, sangat potensial. Pembicaraan berlanjut dan bergeser ke Gerakan Papua Merdeka.
Baca juga:
Sebuah Surat Cinta- Bagian 1
|
“Banyak kawan-kawan saya di sana tidak cinta Indonesia. Mereka merasa Indonesia saja tidak cinta mereka, mengapa mereka harus cinta Indonesia? Misalnya, lambang negara. Mengapa Garuda Pancasila menoleh ke kanan? Mengapa tidak lurus ke depan saja? Pembangunan terasa timpang. Kami yang di sebelah kiri peta Indonesia ini tidak merasa ditoleh oleh pemerintah.”
Kami berdua tertawa. Namun, di dalam hati saya ada sedikit tangis yang saya rasakan. Apalagi saat Kak Richard bercerita tentang banyaknya anak di Indonesia Timur yang memilih untuk tidak sekolah karena harus menempuh perjalanan jauh dan berbahaya.
Lalu, saya bertanya, “Kalau Kak Richard gimana? Cinta nggak sama Indonesia?”